Mohammad Natsir adalah tokoh nasional dan antarabangsa yang memiliki
integriti pribadi dan komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa dan
negara. Natsir selain sebagai seorang negarawan yang handal, ia juga
termasuk pemikir dan arkitek pendidikan Islam yang serius.
Landasan ideologis Natsir dijiwai oleh pemahamanya terhadap ajaran agama
Islam . Dalam buku karanganya yang berjudul Capita selecta mengutip
H.A.R. Cribb di dalam bukunya Whither Islam mengatakan : “ Islam is
indeed much more than a system of theology, it is a complete
civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari sekadar sebuah agama, ia
adalah suatu peradaban yang sempurna).
Pendidikan Islam adalah berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa dan
bertujuan akhlak yang mulia dengan tidak melupakan kemajuan dunia dan
ilmu pengetahuan yang berguna baik untuk individu atau masyarakat. Ini
adalah kerana agama Islam ialah agama yang menghimpun kebaikan dunia dan
kebahagiaan akhirat, agama yang mementingkan rohani dan jasmani. Sebab
itu pendidikan Islam memiliki tujuan kebaikan rohani dan jasmani dengan
kata lain kebaikan dunia dan akhirat.
Sebagai pemikir dan arkitek pendidikan, Natsir selain menulis karya
ilmiah yang berisikan gagasan dan pemikiran tentang pembaharuan dan
kemajuan pendidikan Islam, ia juga adalah pelaku pendidikan yang
terbukti hebat. Natsir melihat bahawa masalah pokok untuk mengatasi
keterbelakangan dalam pendidikan adalah dengan merombak sistem dan
kurikulum yang dikotomis kepada sistem yang integrated antara ilmu agama
dan umum, dan dengan mempersiapkan guru yang komitmen-profesional dan
dapat menjadi teladan bagi peserta didik.
Pendidikan Islam sangat memperhatikan aspek pembentukan manusia
muslim yang beriman kepada penciptanya, mengetahui kedudukanya, tugasnya
dalam mendayagunakan potensi alam yang selalu berprinsip pada jalan
Allah. Dan juga manusia muslim yang tahu akan apa yang ada di sekitarnya
serta boleh memanfaatkanya sehingga memberikan manfaat untuk
kehidupanya, menyebarkan keadilan dan perdamaian antara sesama manusia
di jagat raya, dan pribadi yang tahu akan kewajiban yang harus
dikerjakan dan tahu pula akan haknya yang harus diambil serta saling
bantu-membantu dalam kebersama guna kesejahteraan hidup dan kebahagian
manusia.
Ada dua hal yang sangat memperngaruhi M. Natsir dalam melihat dan
memahami Islam. Kedua soal ini menyangkut Iman (kepercayaan) dan
kepedulian pada masyarakat : masalah Hablum minallah, Hamblum minannas
(hubungan dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia)
Dalam hubungan ini terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir.
Pertama ,pendidikan harus berperanan sebagai saranan untuk memimpin dan
membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut dapat
mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara
sempurna.
Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki
sifat – sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak al – karimah yang
sempurna.
Ketiga, pendidikan harus berperanan sebagai saranan untuk menghasilkan
manusia yang jujur dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ).
Keempat, pendidikan berperanan membawa manusia agar dapat mencapati
tujuan hidupnya, iaitu menjadi hamba Allah Swt. Dalam pandangan Natsir,
pendidikan memiliki tujuan yang sama dengan tujuan hidup iaitu
menghambakan diri kepada Allah sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an
surat Ad – dzariyat, ayat 56-58 :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka
dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya
Allah dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat
kukuh.”
Disinilah Kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada Allah
yang mutlak itu mengandung makna menyerahkan diri secara total kepada
Allah. Menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada – Nya.
Kelima, pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala
perilaku atau interaksi vertical maupun horizontalnya selalu menjadi
rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana fungsi Islam rahmatan lil’alamin
bagi seluruh jagat raya tanpa memandang perbezaan-perbezaan ras, suku,
golongan dan lain-lain
keenam, pendidikan harus benar – benar mendorong sifat – sifat
kesempurnaannya dan bukan sebaliknya, iaitu menghilangkan dan
menyesatkan sifat – sifat kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan firman
Allah dalam surat At-Tin Ayat, 4 :
” Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya . Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka), Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal soleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya.”
Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah
merealisasikan idealiti Islam yang pada intinya menghasilkan manusia
yang berperilaku Islami, iaitu beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Menurut M. Natsir, seorang hamba Allah adalah orang yang ditinggikan
darjatnya oleh Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka menjalankan
perintah Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia, menunaikan
ibadah terhadap Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam AlQur’an surat Al
Baqarah ayat 177 :
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.”
Berdasarkan ayat tersebut di atas, seorang hamba Allah adalah mereka
yang memiliki enam sifat sebagai berikut. Pertama, memiliki komitmen
iman dan tauhid yang kukuh kepada Allah serta terpantul dalam
perilakunya sehari – hari. Kedua, memiliki kepedulian dan kepekaan
sosial dengan cara memberikan bantuan dan santunan serta mengatasi
kesulitan dan penderitaan orang lain. Ketiga, senantiasa melakukan
hubungan vertikal dengan Tuhan dengan menjalankan ibadah solat secara
berterusan. Keempat, senantiasa melakukan hubungan horizontal sesama
manusia dengan cara memberikan sebahagian harta yang dimiliki kepada
orang lain. Kelima, memiliki akhlak yang mulia yang ditandai dengan
kepatuhan dalam menunaikan janji yang telah diucapkannya, Keenam,
memiliki jiwa yang tabah dalam menghadapi pelbagai situasi.
Dalam tulisannya yang berjudul Tauhid sebagai Dasar Pendidikan , M.
Natsir menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan mengambil contoh
pada seorang professor Fizik bernama Paul Ehrenfest yang mati membunuh
diri. Ia berasal dari keluarga baik – baik dan telah memperoleh
pendidikan Barat tingkat tinggi. Telah banyak penemuan – penemuan
rahasia alam yang dihasilkannya dan telah menjadi bahan rujukan dalam
dunia ilmu pengetahuan. Pekerjaannya sehari – hari tak pernah tercela.
Demikian pula pergaulannya selalu dengan orang yang baik – baik, bahkan
ia sendiri termasuk orang yang ramah. Inilah gambaran kecil seorang
terpelajar yang tidak dibekali dengan ruh tauhid.
Semua kegiatan seorang hamba Allah, baik yang berupa ibadah terhadap
ilahi ataupun yang berupa mu’amalah semuanya itu dilakukan dalam rangka
persembahan kepada Allah dengan niat (motif) hendak mencapai keredaaNya
(al-lail 20-21).
Dengan kegiatan ini semua bakat potensi yang ada dalam fitrah kejadian
manusia (jasmani dan rohaninya) itu dapat berkembang maju menurut fungsi
masing-masing, berkembang dalam keseimbangan : otak dan hati, amal dan
ibadah, kecakapan dan akhlak, doa dan ikhtiar, dari tingkat ketingkat
yang lebih tinggi.
Ideologi dan pendekatan dalam pendidikan.
Natsir mengajukan konsep pendidikan yang khas ditengah persoalan
dikotomis antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsep
pendidikannya adalah integral, harmonis, dan universal. Dalam pidato
yang ia sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934
dengan judul ” Ideologi Didikan Islam” serta dalam tulisannya di Pedoman
Masyarakat pada 1937 dengan judul ”Tauhid sebagai dasar Pendidikan”,
menggariskan ideologi pendidikan umat Islam dengan bertitik tolak dari
dan berorientasi kepada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat
syahadat.
Melalui dasar tersebut akan tercipta integrasi pendidikan agama dan
umum. Konsep pendidikan yang integral, universal, dan harmonis menurut
Natsir, tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan
umum, melainkan antara keduanya memiliki keterpaduan dan keseimbangan.
Semua itu dasarnya agama, apa pun bidang dan disiplin ilmu yang
ditekuninya.
Menurut Natsir bahasa asing amat besar peranannya dalam mendukung
kemajuan dan kecerdasan bangsa. Dalam kaitan ini, Natsir selalu ingat
pada ucapan Dr.G. Drewes yang mengatakan bahwa hanya dengan mengetahui
salah satu bahasa Eropa, yang terutama sekali bahasa Belanda, masyarakat
bumi putra dapat mencapai kemajuan dan kemerdekaan pikiran.
Lebih lanjut Dr. Drewes sebagaimana dikutip oleh Natsir mengatakan bahwa
sebagai dasar bagi kecerdasan salah satu bangsa adalah bahasa ibunya
sendiri. Bahasa serta kaitannya dengan corak berpikir suatu bangsa.
Bahasa dari salah satu bangsa adalah tulang punggung dari kebudayaannya.
Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifat – sifat dan
kebudayaannya sendiri. Kultur suatu bangsa berdiri atau jatuh bergantung
pada bahasa dari bangsa itu sendiri. Sejalan itu, maka bahasa merupakan
salah satu faktor terpenting yang mendorong mutu dan kecerdasan suatu
bangsa. Bahasa ibu, bahasa kita sendiri. Adalah menjadi syarat bagi
tegaknya kebudayaan kita. Demikianlah antara lain pandangan Natsir
terhadap bahasa asing khususnya bahasa Belanda dan Bahasa Arab.
Untuk itu, kepada para siswa harus diberikan kemampuan berbahasa asing dan dengan melakukan langkah – langkah antara lain .
1. Perlu adanya upaya membasmi semangat anti-Arab atau anti-Islam yang
diciptakan oleh kolonial linguistik dan penguasa pribuminya yang taat
dan setia.
2. Status linguistik yang bebas dari bahasa Arab harus diakui dan bahasa
Arab harus diperlakukan tidak lagi sebagai karya teologis.
3. Negara – Negara Islam yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab, harus
menerima bahasa Arab sebagai bahasa kedua setelah bahasa Nasional
ibunya.
f). Keteladanan guru.
Menurut DR.G.J. Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir, suatu
bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk
kemajuan bangsa tersebut pernyataan ini dikutip oleh Natsir, karena pada
saat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai
menurun. Berkaitan dengan masalah ini, Natsir menulis artikel dengan
kalimat pembuka : “ Sekarang saya mempropagandakan pendidikan, tetapi
nanti saya tidak dapat mendidik anak – anak saya “.
Pernyataan kalimat tersebut merupakan salah satu alasan yang dikemukakan
seorang lulusan HIK yang pernah menjadi pemuka dari organisasi guru –
guru di Indonesia. Dari ungkapan itu Natsir memahami mengapa guru
tamatan HIK menukar pekerjaannya ( alih profesi ) dari yang semula
sebagai guru menjadi pegawai pos.
Sistem pendidikan Belanda memang betul dapat memberikan bekal
pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh
zaman, tapi saying jiwanya kerdil, dan dikotomis karena tidak memiliki
landasan iman dan akhlak yang mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren
dan madrasah memang betul memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia,
tapi tidak memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi dan
keterampilan yang memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang.
Berdasarkan uraian diatas, konsep pendidikan yang integral menurut
pandangan M. Natsir yang digali dari sumber Al-Quran dan Al-Hadits ialah
pendidikan yang tidak membedakan pendidikan umum dan pendidikan agama.
Pendidikan tersebut harus berlandaskan Tauhid dan menjadikan manusia
memperhambakan dirinya kepada Allah dan berkemampuan untuk beribadah dan
mua’amalah sehingga layak menduduki posisi mulia ruhani jasmani dalam
rangka tercapainya cita-cita mulia kebagaian di dunia dan di akhirat.
Konsep tersebut akan sejalan dengan didukung oleh para pengajar yang
memilik komitment profesional sebagai orang yang melakukan transformasi
nilai-nilai pendidikan kepada anak didik. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar