Rabu, 16 Oktober 2013

YUSRIL IHZA MAHENDRA : MK Tidak Berwenang Menguji PERPU






7 Oktober 2013

Tulisan ini merupakan jawaban yang saya sampaikan melalui telepon atas pertanyaan dari salah satu stasiun televisi swastanasional terkait “perpu yang akan diterbitkan oleh Presiden”. Perpu itu adalah kewenangan Presiden yang diberikan oleh UUD ’45. Presiden berwenang menerbitkan Perpu dalam hal ihkwal kegentingan yang memaksa seperti dikatakan UUD ’45. Apakah keadaan itu adalah kegentingan yang memaksa atau tidak, pertimbangannya ada pada Presiden sebagai pengambil keputusan.

Orang bisa saja berdebat suatu kejadian sebagai kegentingan yang memaksa atau tidak, namun akhirnya semuanya adalah tergantung pada sikap Presiden. Presiden yang bertanggung jawab untuk mengatasi keadaan yang menurrt pandangannya ada sifat kegentingan yang memaksa. Sebab itu, daya berlaku Perpu adalah terbatas. Presiden harus segera menyampaikan Perpu ke DPR untuk mendapat persetujuan. Jika disetujui Perpu tersabut disahkan menjadi UU. Jika ditolak, Perpu tersabut harus dicabut dan tidak berlaku lagi.

Meskipun kedudukan Perpu itu setara dengan UU, saya berpendapat MK tidak berwenang menguji Perpu. Kalau ada yang memohon MK agar menguji Perpu, MK harus menunggu sampai Perpu itu disahkan menjadi UU. Apakah MK nanti bisa menguji Perpu tentang Perubahan UU MK yang sedang disiapkan Presiden, jika seandainya telah disahkan menjadi UU?

Prinsipnya MK berwenang menguji UU kalau ada yang mohon pengujian. MK tidak bisa berinisiatif menguji UU. MK itu pasif tidak boleh proaktif. Jadi, kalau tidak ada yang mohon pengujian, Perpu yang telah disahkan menjadi UU itu tidak bisa diapa-apakan oleh MK.

MK berwenang menguji semua UU, termasuk menguji UU yang mengatur MK sendiri. Kewenangan itu diberikan UUD ‘45. Dari sudut etik dan kepatutan, saya berpendapat MK sebaiknya tidak menguji UU yang mengatur dirinya sendiri. Biarkan UU tentang MK diuji secara “legislative review” oleh Presiden dan DPR sebagai pembuat UU, bukan oleh oleh MK.

Secara etis hakim wajib mundur dari majelis jika perkara yang ditangani terkait dengan kepentingannya sendiri atau keluarganya. Dalam UU Kekuasaan Kehakiman hal tersebut juga diatur tentang wajib mundurnya hakim dari majelis kalau perkara terkait dengan dirinya. Nah, karena 9 hakim MK itu semuanya terkait dengan pengujian UU MK, maka semua mereka harus mundur dari majelis. Kursi hakim MK akan kosong.

Itulah kenapa salah satu syarat menjadi hakim MK adalah "dia seorang negarawan". Syarat seperti itu tidak ada pada jabatan lain, termasuk Presiden. Pertanyaannya, apakah hakim MK pantas disebut negarawan jika mengadili pengujian UU MK sendiri yang mereka berkepentingan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar