Dosen: H. Dian Agus Ruchliyadi
MK : Sistem Politik Indonesia
Program Studi Pend. Pancasila dan Kewarganegaraan
Universitas Lambung Mangkurat , Banjarmasin
STUDI
KASUS TENTANG FUNGSI OUTPUT SISTEM POLITIK INDONESIA
Sebelum menyajikan contoh atau studi kasus tentang fungsi
output, kami terlebih dahulu menguraikan sedikit tentang apa saja yang dimaksud
fungsi output.
Proses politik dimulai ketika kepentingan tersebut
diungkapkan atau diartikulasikan. Kemudian input tersebut di agregasi ke dalam
beberapa alternatif pilihan agar kebijakan yang dibuat dapat berjalan efektif
yang kesemuanya tersebut dijalankan oleh partai politik sebagai sosialisasi
politik, rekrutmen politik, dan komunikasi politik. Kemudian kebijakan dibuat
oleh badan legislatif dan eksekutif, kemudian penerapan kebijakan yang
dilakukan oleh birokrasi, lalu penghakiman kebijakan atas penyimpangan yang
terjadi, kemudian terjadi feedback
lagi untuk kemudian diproses menjadi sebuah kebijakan yang baru.
Fungsi-fungsi output sistem politik, yakni :
1. Pembuatan
Kebijakan, Fungsi pembuatan kebijakan dilaksanakan oleh lembaga
Legislatif yang meliputi DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD sebagai lembaga yang
mewakili aspirasi daerah.
2. Penerapan
Kebijakan, Fungsi penerapan kebijakan dilaksanakan badan Eksekutif
yang meliputi dari pemerintah pusat sampai ke pemerintah daerah.
3. Ajudikasi
Kebijakan, Fungsi adjudikasi kebijaan dilaksanakan oleh badan
peradilan yang meliputi MA, MK, Komisi Yudisial serta badan-badan kehakiman.
STUDI
KASUS
1. LAHIRNYA LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI
SEBAGAI HASIL DARI AMANDEMEN DAN PERUBAHAN UUD 1945
Amandemen adalah proses perubahan terhadap
ketentuan dalam sebuah peraturan. Berupa penambahan maupun pengurangan
atau penghilangan ketentuan tertentu. Amandemen hanya merubah sebagai ( kecil )
dari peraturan.
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali
dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi
yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal
7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9
Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran
hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka
menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi
MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945
hasil Perubahan Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan
Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden
pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama
kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi
di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK
selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober
2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang
kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
2. RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
Alasan
terbitnya rancangan undang-undang tersebut adalah penghematan biaya dan energi
sosial. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi pernah prihatin atas demokrasi berbiaya tinggi itu.
Namun,
jika alasannya karena pilkada langsung dinilai terlalu mahal, pertanyaannya
siapakah sebenarnya yang mengeluarkan biaya mahal itu? Prinsipnya, anggaran
untuk pilkada bisa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu biaya penyelenggaraan
dan pencalonan. Penyelenggaraan pilkada menjadi tanggungan anggaran negara,
dikeluarkan oleh institusi penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum
dan Badan Pengawas Pemilu.
Pengeluaran
besar kandidat itu yang membuat pemerintahan lalu tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Calon butuh biaya besar, ada pendana yang membiayainya, dan akhirnya
mesti ada kompensasi setelah calon itu menang.
"Itu
gagasan yang keliru karena kita kembali ke cara lama yang punya banyak masalah.
Seharusnya yang harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki permasalahan yang
sesungguhnya ada. Bukan menganggap penyelesaiannya dengan (pemilihan) langsung
atau tidak langsung," kata Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform
(Cetro) Hadar Nafis Gumay, Senin (13/12/2010), kepada Kompas.com.
Setidaknya
ada sejumlah permasalahan yang, menurut Hadar, akan muncul dari gagasan
tersebut. Pertama, aspirasi DPRD dalam memilih gubernur sangat berpotensi tidak
sesuai dengan aspirasi masyarakat.
"Ada
gap antara aspirasi wakil rakyat dengan apa yang berkembang di masyarakat.
Kalau itu yang terjadi, pimpinan yang terpilih bisa mendapatkan penolakan.
Penolakan yang besar akan menyulitkan dalam memerintah," ujarnya.
Kedua,
sistem pemilihan melalui DPRD dinilai tidak sesuai dengan desentralisasi dan
otonomi daerah yang bertujuan agar masing-masing daerah punya "warna"
sendiri. Para anggota DPRD yang berasal dari sejumlah partai politik, menurut
Hadar, akan sangat terkait dengan pengurus pusat partainya dalam menentukan
sikap.
"Parpol
kita masih sangat sentralistik sehingga dalam memilih dan mengidentifikasi
calon sangat diwarnai oleh keinginan parpol di tingkat pusat," kata Hadar.
Masalah
ketiga, kentalnya isu permainan uang. Politik uang, dalam kacamata Hadar, tidak
hanya terjadi pada pemilihan langsung. Praktik itu dianggap juga akan terjadi
ketika pemilihan dilakukan oleh DPRD. "Justru menggunakan uang dalam
proses pemilihan akan lebih mudah. Dulu, salah satu faktor kita meninggalkan
cara itu (pemilihan oleh DPRD) karena ingin mengoreksi praktik politik uang
itu," ujarnya.
Hadar
melanjutkan, permasalahan keempat adalah persoalan akuntabilitas. Gubernur yang
dipilih DPRD akan lebih merasa bertanggung jawab kepada pemilihnya. "Jadi
konsennya ke DPRD, bukan orientasi ke rakyat. Akuntabilitas tidak lagi ke
rakyat," kata dia.
Masalah
berikutnya, tidak berjalannya check
and balance terhadap pemimpin yang berkuasa. Hak memilih yang
diberikan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin di dua jalur, eksekutif dan
legislatif, dinilai memperkuat fungsi check
and balance oleh publik.
"Kalau
dipilih oleh DPRD, proses check
and balance tidak akan berjalan karena ada kompromi di antara
gubernur dan DPRD," ungkap Hadar.
3. Sitem KPR mempermudah masyarakat
berpenghasilan rendah mendapatkan akses
kebutuhan rumah layak huni dengan dikeluarkannya UU No 1 Tahun 2011
Permukiman
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Pemerintah wajib memberikan akses
kepada masyarakat untuk dapat memperoleh permukiman yang layak huni, sejahtera,
berbudaya, dan berkeadilan sosial. Permasalahan biaya merupakan salah satu
point penting dalam pemecahan permasalahan perumahan dan permukiman ini. hal
ini disebabkan oleh kemampuan ekonomis masyarakat untuk menjangkau harga rumah
yang layak bagi mereka masih sangat susah sekali, karena sebagian besar
masyarakat merupakan masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah kebawah,
sedangkan secara makro hal ini juga tidak terlepas dari kemampuan ekonomi
nasional untuk mendukung pemecahan masalah perumahan secara menyeluruh.
Impian
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah tampaknya akan bisa
segera terwujud setelah keluarnya Program Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
Sejahtera melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang
prorakyat.
Program
KPR Sejahtera FLPP yang dilaksanakan mulai awal Maret 2012 dan didukung oleh
proteksi kredit macet serta asuransi jiwa dan kebakaran, plus suku bunga
proteksi KPR relatif murah antara 7,0 - 7,25 persen per tahun itu, akan membuka
peluang besar bagi rakyat untuk memiliki rumah yang layak. Kementerian
Perumahan Rakyat (Kemenpera) telah menentukan target rumah KPR setiap tahun
antara 130 ribu hingga 250 ribu unit di seluruh Indonesia.
Fakta
menunjukkan, penyediaan rumah layak huni bagi masyarakat menjadi kebutuhan tak
terhindarkan. Di sisi lain, kepemilikan rumah sulit direalisasikan karena harga
cenderung naik seiring dengan meningkatnya harga bahan bangunan dan barang
kebutuhan hidup lainnya.
Salah
satu cara tepat dalam memiliki rumah adalah melalui mekanisme KPR perbankan
atau lembaga pembiayaan dengan cara mengangsur pinjaman untuk jangka waktu
tertentu. Maka, Kemenpera kemudian mencanangkan program rumah sejahtera dengan
pembiayaan FLPP.
Pemerintah
telah berupaya memperkecil kesenjangan keterjangkauan bagi Masyarakat
Berpengasilan Menengah (MBM) dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dalam
mengangsur cicilan KPR-nya kepada bank melalui program bantuan pembiayaan
perumahan dalam bentuk subsidi perumahan.
4. Hak Pekerja Pada Saat Hari Libur
Sudah
merupakan kewajiban dari perusahaan untuk memberikan waktu istirahat kepada
pekerjanya. Masa istirahat mingguan tidak boleh kurang dari 1 (satu) hari
setelah 6 (enam) hari kerja atau tidak boleh kurang dari 2 (dua) hari setelah 5
(lima) hari kerja dalam satu minggu dan berdasarkan Undang – Undang no. 13
pasal 85 tahun 2003, pekerja tidak wajib bekerja pada hari – hari libur resmi
ataupun hari libur yang ditetapkan oleh perusahaan. Karena waktu istirahat itu
merupakan hak kita, maka perusahaan wajib memberikan upah penuh. Akan tetapi,
ada kalanya perusahaan menuntut pekerja untuk tetap bekerja pada hari – hari
libur karena sifat pekerjaan yang harus dilaksanakan terus – menerus.
Perusahaan yang mempekerjakan pekerjanya di hari libur, wajib membayar upah
lembur.
5.
Pidana Mati
Dalam Rancangan KUHP
Tujuan
pidana mati dalam KUHP mendatang lebih menitikberatkan perlindungan kepada
masyarakat. Namun pidana mati pada hakekatnya bukanlah sarana utama untuk
mengatur, menertibkan dan memperbaiki masyarakat tetapi sarana perkecualian
atau sebagai senjata pamungkas (jalan terakhir) demi perlindungan masyarakat.
Tujuan pidana mati dalam KUHP mendatang dan hubungannya dengan tujuan
pemidanaan adalah bahwa meskipun pidana ini pada hakekatnya merupakan suatu
nestapa, namun pemidanaannya tidak bertujuan melakukan pembalasan dengan
menderitakan dan merendahkan martabat manusia tetapi senjata pamungkas (jalan
terakhir) atau Naskah Rancangan KUHP Baru menyebutkan dalam bersifat khusus
(Pasal 63). Nurmalawaty, SH. M.Hum.; Syarifuddin, SH. MH.
PLUS-MINUS
KINERJA SBY-BOEDIONO MENGENAI
FUNGSI
OUTPUT SISTEM POLITIK INDONESIA
Dalam hal ini, kami merujuk
kepada 15 program unggulan dari presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal
dilantiknya beliau sebagai presiden RI. Salah satunya, yakni :
1. Pemberantasan
Mafia Hukum
(+) Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menangani banyak kasus di berbagai lembaga
negara dan selama itu pula, setiap pejabat yang sudah terjerat kasus di KPK,
belum pernah sekalipun lolos dari peradilan. Selain anggota DPR, masih banyak pejabat
negara lainnya yang sudah terjerat kasus di KPK, baik kepala daerah atau bupati
di daerah. Tak hanya itu, Andi Alfian Mallarangeng yang saat itu menjabat
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), juga ikut diciduk KPK, terakhir ketua MK
tertangkap oleh KPK.
(-) Kami
melihat bahwa salah satu institusi negara yang paling mendapat sorotan publik
di tingkat nasional adalah Kepolisian RI. Harus diakui, lahirnya Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum ini menegaskan hipotesa yang sudah menjadi persepsi
publik umum bahwa aparatur penegakan hukum –khususnya Polri- masih tercengkeram
oleh praktek korupsi yang sistemik. Hal ini terjabarkan dalam berbagai bentuk
penyalahgunaan kekuasaan dalam menjalankan tugas profesionalisme Polri. Lebih
jauh, Polri merupakan pintu gerbang penuntasan kasus-kasus kejahatan dan
pelanggaran HAM.
2. Penanggulangan
Terorisme
(+) Ketika
mengukuhkan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Bali yang
diketuai Drs I Gede Putu Jaya Suartama, MSI, ia mengatakan keberhasilan Indonesia
dalam menanggulangi terorisme diakui dunia internasional sejak keberhasilan
mengungkapkan pelaku dan jaringan bom Bali 12 Oktober 2002. Sebagian besar
pelaku teroris dan jaringannya dalam melakukan aksi di sejumlah tempat berhasil
diungkap serta pelakunya ditangkap dan diproses secara hukum.
(-)BNPT
terkesan normatif dan kurang memberikan gambaran adanya langkah-langkah taktis
maupun strategis dalam memerangi terorisme di Indonesia, khususnya aksi-aksi
teror belakangan ini (teror bom buku). Berkaitan dengan teror bom buku ke
sejumlah sasaran yang tokoh publiki, dia juga mempertanyakan, apakah hal itu
murni aksi terorisme atau adanya upaya pengalihan isu. semestinya BNPT dan
Badan Intelijen Negara (BIN) memberikan penjelasan ke publik minimal alur besarnya
saja, agar tidak menimbulkan perspektif negatif dan untuk menjawab banyaknya
spekulasi yang berkembang pasca teror bom buku.
3. Kesediaan
Listrik
(+)Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 20 September 2011
menandatangani Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Ini merupakan tindak lanjut
dari kesepakatan Bali Action
Plan pada
Conference of Parties United Nations Climate Change Convention (COP UNFCCC) ke-13 di Bali,
Desember 2007. Untuk memenuhi komitmen pemerintah Indonesia yang secara
sukarela menurunkan emisi GRK 26% dengan usaha sendiri, atau mencapai 41%
dengan bantuan internasional pada tahun 2020. Berdasarkan Undang-Undang No 17
Tahun 2007, pada RJPN 2005-2025 dan Keputusan Presiden No.5 Tahun 2006,
mentargetkan bauran energi sampai tahun 2025 dengan kontribusi nuklir 2% dari
energi primer atau 4% listrik (4.000 MWe). Berdasarkan regulasi yang ada, maka
diharapkan Indonesia dapat membangun 2 unit PLTN. Unit pertama
direncanakan dapat beroperasi sebelum 2020 untuk memenuhi kebutuhan bauran
energi nasional, sehingga secara strategis jangka pendek kebutuhan energi
terpenuhi dan secara jangka panjang efektif dan efisien. Namun sampai sekarang
masih terjadi pro-kontra, baik di kalangan para pakar maupun di masyarakat
awam, tentang perlu tidaknya PLTN dibangun di Indonesia .
(-) SKB
Lima menteri mengatur kebijakan dan pengaturan energi listrik untuk menjaga
sustainable dan keberlangsungan pasokan listrik kepada pengusaha swasta dan
industri, anehnya lagi akan memberikan sangsi bagi pengusaha yang tidak menepati
atau menyesuaikan SKB itu. Bagaimana mengubah jam kerja menjadi hari Sabtu dan
Minggu pasti banyak kendalanya. Bagaimana dengan aturan ketenagakerjaan serta
persetujuan pemda setempat. Dalam aturan tentang lembur maka harus mendapat
persetujuan pemda setempat , juga melihat Surat Kesepakatan Bersama antara
pengusaha dan karyawan, diatur lebih rinci tentang hak dan kewajiban kedua
belah pihak, antara lain pengaturan jam kerja dan upah lembur. Tidak mungkin
pengusaha dengan mudahnya mengubah jam kerja tanpa ada biaya tambahan untuk
lembur. Fasilitas perbankan, pengurusan dokumen ekspor, perubahan L/C, serta
mengatur kembali jadwal ekspor, fasilitas penunjang untuk pengriman barang,
sangat komplek dampaknya kepada pengusaha yang ujung-ujungnya akan menambah
biaya menjadi tinggi, dan konsumen yang akan menanggung biaya.
4. Peningkatan
Infrastruktur
(+) jembatan
Tol di Bali telah selesai dan di resmikan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, Jembatan tol ini memiliki panjang sekitar 12,7 km, sekitar 10 km
berada di atas laut, dimana panjang jembatan tol di Bali ini hampir sama dengan
Penang Bridge di Malaysia (13,5 km), atau Union Bridge di Kanada (12,9 km).
Jembatan Diatas laut Jakarta Surabaya telah mulai dikerjakan. Pembangunan
Sarana dan Prasarana olahraga hampir ditemukan disetiap Provinsi di tanah air.
(-)
Pembangunan Infrastruktur dewasa ini menjadi lahan bagi dewan eksekutif maupun
legislatif untuk memanfaatkan dana pembangunan infrastruktur tersebut sebagai
gajih tambahan bagi mereka, karena pembangunan tersebut merupakan suatu proyek
besar yang memiliki perencanaan dana yang besar sekali.
5. Reformasi
Pendidikan
(+) kebijakan
pemerintah terbaru mengenai pendidikan yakni diberlakukannya kurikulum 2013,
suatu konsep yang pendekatannya tematik integratif, dimana mata pelajaran dapat
dijadikan satu berdasarkan temanya. Menurut kami, perubahan di pendidikan
seperti ini dalam hal kurikulum tidak aneh, karena Indonesia sudah beberapa
kali mengganti kurikulum dan ini merupakan hal yang lazim di beberapa negara
maju.
(-) Namun,
seperti pembangunan Infrastruktur, pergantian kurikulum ini disinyalir oleh
adanya proyek yang melibatkan dana besar, seperti pengadaan buku dan lain-lain.
Dan para oknum yang terlibat dalam proyek ini sedikit banyak diduga mendapatkan
keuntungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar